Wajibnya wudlu jika ingin menyentuh mushafKhilaf diantara para ulama,
· Pendapat pertama (ini merupakan pendapat jumhur): Wajib berwudlu jika menyentuh mushaf, dalilnya :
-
Sesuai firman Allah لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْنَ (Tidak
menyentuhnya kecuali yang disucikan), karena dhomir (هُ) kembali kepada
Al-Qur’an sesuai dengan awal ayat tersebut تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ (Yang diturunkan dari Robbul alamin). Sedangkan yang
dimaksud الْمُطَّهَّرُوْنَ adalah orang yang berwudlu dan mandi dari
janabah sesuai dengan firman Allah وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
(melainkan untuk mensucikan kalian). Dan walaupun ayat ini adalah khobar
bukan perintah (sebab kalau perintah dia mestinya majzum لاَ يَمَسَّهُ
karena لاَ adalah nahiyah), namun dia adalah khobar yang bermakna
perintah. Dan yang seperti ini lebih mengena dalam amr.
- Sesuai dengan hadits :
أَبُو بَكْرٍ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ
عَمْرٍو بْنِ حَزْم عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ ٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَتَبَ
إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا وَفِيْهِ "لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ
طَاهِر"ٌ
Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya
dari kakeknya :(Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menuliskan kepada penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan)
“Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” (Hadits shohih,
irwaul golil no 122)Syaikh Utsaimin pada mulanya condong
kependapat Daud Adz-Dzohiri (akan disampaikan setelah ini), namun
setelah beliau memperhatikan hadits لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ
طَاهِرٌ maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena bermakna
suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah
وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ (melainkan untuk mensucikan kalian).
Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabi mengungkapkan mukmin dengan tohir
karena menggunakan mukmin lebih mengena daripada tohir. (Syarhul Mumti’
1/265)
Dan ini adalah pendapat imam Ahmad, sebagaimana yang dikataka oleh Ishaq al-Mawarzi :
Aku
bertanya (kepada Imam Ahmad) :”Apakah seorang laki-laki (boleh) membaca
Al-Qur’an tanpa wudlu?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi janganlah dia
membaca dengan (menyentuh) mushaf selama dia belum berwudlu.”
Ishaq
berkata :”(Hukumnya) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad karena
telah shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tidaklah menyentuh
Al-Qur’an kecuali orang yang suci”, dan demikianlah praktek para
shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabiin”.
Berkata
Syaikh Al-Albani : “Dan yang shohih dari para sahabat yaitu yang
diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos bahwasanya dia berkata :
“Aku memegang mushaf dihadapan Sa’ad bin Abi Waqos, lalu aku menggaruk,
maka berkata Sa’ad :”Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata
:”Ya”, maka dia berkata :”Berdirilah dan berwudlulah”, maka akupun
berdiri dan berwudlu kemudian aku kembali”. Diriwayatkan oleh Malik dan
Baihaqi darinya dengan sanad yang shohih. (Irwaul golil 1/161)
Adapun
kitab-kitab tafsir, maka boleh menyentuhnya tanpa wudlu sebab jumlah
tafsirnya lebih banyak dibandingkan jumlah Al-Qur’annya. Dan demikan
pula dengan kitab-kitab yang lain yang terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di
dalamnya namun jumlahnya sedikit. Dalilnya bahwasanya Nabi menulis kitab
kepada orang-orang kafir dan dalam kitab tersebut ada ayat-ayat
Al-Qur’an (Syarhul Mumti’ 1/267)
· Pendapat kedua (ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : Tidak wajib berwudlu bila menyentuh mushaf, dalilnya :
-
Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shohih dari Aisyah bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dalam seluruh keadaan (suci
maupun tidak)
كَانَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Adalah Nabi berdzikir kepada Allah dalam seriap keadaan. (Riwayat Bukhori dan Muslim)-
Yang asal adalah seseorang tidak dikenai kewajiban, maka tidak boleh
kita menyatakan seseorang berdosa tanpa bersandar kepada nash.
- Adapun makna طَاهِرٌ yang ada dalam hadits (kalau haditsnya shohih) memiliki banyak kemungkinan, yaitu :
a. Bermakna orang mukmin, sebagaimana firman Allah ta’ala
إِنَّمَا الْمُشْرِكِيْنَ نَجْسٌ , dan hadits إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ jadi maksudnya suci secara maknawi (suci aqidah)
b.
Bermakna suci dari najis haqiqi (‘aini/dzati) sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kucing إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ
c. Bermakna suci dari janabah, sebagaimana firman Allah : إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
d.
Bermakna suci dari hadats kecil, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam: دَعْهُمَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ
(Nailul Author 1/206, Taudlihul ahkam 1/248)
Dan jika terdapat
dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat dijadikan
hujjah, bagaimana pula jika terdapat empat kemungkinan.
- Adapun
dhomir (هُ) yang terdapat ayat kembalinya pada فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ
yang kemungkinan maksudnya adalah lauhul mahfuz atau kitab yang berada
di tangan para malaikat bukan Al-Qur’an, karena dhomir kembali kepada
yang paling terdekat (sehingga tidak kembali ke تَنْزِيْلٌ نِنْ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ yang lebih jauh). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam
ayat (عَبَسَ) ayat 11-16 yaitu فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ sama dengan فِي
كِتَابٍ مَكْنُوْن dan بِأَيْدِي سَفَرَةٍ sama dengan لاَ يَمَسُّهُ
إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْن , dan Al-Qur’an saling menafsirkan antara ayat
yang satu dengan yang lainnya.
- Dan dalam ayat الْمُطَّهَّرُوْنَ
menggunakan wazan isim maf’ul bukan isim fa’il. Kalau maknanya orang
yang bersuci mestinya menggunakan wazan isim fa’il. Sehingga maksudnya
adalah para malaikat bukan manusia (Nailul Author 1/206)
- Adapun
anggapan bahwa ayat adalah khobar bermakna perintah, ini memang bisa
demikian namun harus ada korinah yang menunjukan akan hal itu. Jika
tidak terdapat korinah maka kita kembali pada asal yaitu khobar tetap
bermakna khobar.
- Adanya hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam نَهَى عَنِ السَّفَرِ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ
(melarang bersafar dengan (membawa) Al-Qur’an ke negeri musuh,
Muttafaqun alaih). Hal ini dikhawatirkan karena orang kafir yang najis
hatinya akhirnya menyentuh Al-Qur’an tersebut. (Tamamul Minnah hal 107).
-
Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos, kalaupun
seandainya shohih maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqos kepada
Mush’ab hanyalah karena mustahab.
-. Asalnya adalah boleh bagi seseorang
memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an. Dan tidak boleh bagi seorangpun
mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shohih dan shorih.
4. Perkara-perkara yang disunnahkan untuk berwudlu (lihat Thuhurul Muslim hal 91-96)
a. Ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah ta’ala
Dalilnya
: Hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mengabarkan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khobarnya (pesannya)
Abu Amir bahwasanya beliau (Abu Amir) berkata kepada dia (Abu Musa) :
أَقْرِئِ النَّبِيَّ مِنِّي السَّلاَمَ وَ قُلْ لَهُ اِسْتَغْفِرْ لِي
Sampaikan pada Nabi salam dariku, dan katakanlah padanya “Mohon ampunlah (kepada Allah) untukku”.
Ketika
dia (Abu Musa) mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air kemudian
berwudlu dengan air tersebut kemudian mengangkat kedua tangannya lalu
berkata ; “Ya Allah berilah ampunan bagi hambamu Abu Amir…(Riwayat
Bukhori, lihat al-fath 8/41 dan Muslim 4/1944)
b. Ketika akan tidur
Sesuai dengan hadits Baro’ bin Azib t, beliau berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ
Jika
engkau mendatangi tempat berbaringmu maka berwudlulah seperti wudlumu
ketika (akan) sholat kemudian berbaringlah di atas sisi (tubuh)mu yang
kanan. (Riwayat Bukhori)
c. Setiap kali berhadats
Sesuai dengan hadits Buraidah t, beliau berkata :
أَصْبَح
رَسُوْلُ اللهَِ يَوْمًا، فَدَعَا بِلاَلاً فَقَالَ :" يَا بِلاَلُ بِمَا
سَبَقَتْنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ إِنَّنِي دَخَلْتُ الْجَنَّةَ الْبَارِحَةَ
فَسَمِعْتُ خَشْخَشْتَكَ أَمَامِي؟" فَقَالَ بِلاَلٌ : "مَا أَذَّنْتُ
قَطٌّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْغَتَيْنِ، وَلاَ أَصَابَنِي حَدَثٌ قَطٌّ
إِلاَّ تَوَضَّأْتُ
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapati pagi pada suatu hari, maka Beliau memanggil Bilal dan berkata
:”Wahai Bilal dengan apa engkau mendahului aku ke surga?, sesungguhnya
aku memasuki surga tadi malam maka aku mendengar suara langkah engkau di
depanku”, maka Bilal menjawab :”Tidaklah sama sekali aku beradzan
kecuali aku sholat dua rakaat dan tidak pernah sama sekali aku berhadats
kecuali aku berwudlu” (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani
dalam Shohih at-Targib no 95)
d. Setiap akan sholat (walaupun belum batal wudlunya)
Sesuai dengan hadits Abu Huroiroh t, beliau berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ، وَمَعَ كُلِّ وُضُوءٍ بِسِوَاكٍ
Kalaulah
tidak memberatkan umatku akan aku perintah mereka untuk berwudlu setiap
sholat dan untuk bersiwak setiap berwudlu. (Riwayat Ahmad dan
dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih at-Targib no 95)
e. Ketika mengangkat mayat
ٍSesuai dengan hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
مَنْ غَسَلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayat maka mandilah dan barangsiapa yang mengangat mayat maka berwudlulah.
(Riwayat Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil
no 144 sehingga ini merupakan pendapat syaikh Al-Albani dalam Tamamul
Minnah, namun hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Bin Baz sehingga beliau
menganggap tidak disunnahkannya berwudlu karena mengangkat mayat,
adapun berwudlu karena memandikan mayat adalah sunnah sesuai dengan
hadits Aisyah dan Asma’, akan datang penjelasannya pada bab mandi insya
Allah U)
f. Setelah muntah
Sesuai
dengan hadits Ma’dan dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam muntah lalu beliau berbuka kemudian
berwudlu. (Riwayat Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul
Golil no 111)
g. Karena memakan makanan yang tersentuh api (dibakar)
Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
Berwudlulah karena memakan makanan yang tersentuh api. (Riwayat Muslim 1/272)
Kemudian
telah tsabit dari hadits Ibnu Abbas dan Amr bin Umayyah dan Abu Rofi’
tbahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makan daging yang
tersentuh api kemudian beliau berdiri dan sholat dan tidak berwudlu.
(Riwayat Bukhori no 5408 dan Muslim 1/273). Hal ini menunjukan bahwa
disunnahkannya wudlu setelah memakan daging yang tersentuh api.
h. Orang yang junub ketika akan makan
Sesuai dengan hadits Aisyah, beliau berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إذَا كَانَ جُنُبًا فَأََرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلضَّلاَةِ
Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau junub kemudian ingin makan
atau tidur maka beliau berwudlu sebagaimana wudlu (untuk) sholat.
(Riwayat Muslim 1/248 no 305)
i. Karena ingin mengulangi jimak
Sesuai dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menjimaki) istrinya, kemudian dia ingin mengulanginya maka hendaklah dia berwudlu. (Riwayat Muslim no 308. Berkata Syaikh Bin Baz dalam syarah bulugul maram :”Dzohirnya perintah untuk wajib”.)
Adapun mandi maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelilingi istri-istrinya dengan sekali mandi. (Riwayat Muslim no 309)
j. Ketika orang yang junub ingin tidur namun tidak mandi junub
Sesuai
dengan hadits Aisyah ketika beliau ditanya : “Apakah Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur dan dia dalam keadaan junub?”, maka
Aisyah menjawab : “Benar, dan dia berwudlu” (Riwayat Bukhori no 286 dan
Muslim no 305)
Dab juga hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu meminta fatwa (bertanya) kepada Nabi
r, maka dia (Umar t) berkata :”Apakah salah seorang dari kami tidur dan
dia dalam keadaan junub?”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata :
لِيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَنَمْ حَتَّى يَغْتَسِلَ إِذأ شَاءَ
“Hendaknya
dia berwudlu kemudian hendaklah dia tidur hinga dia mandi jika dia
kehendaki” (Riwayat Bukhori no 287 dan Muslim no 306)
Berkata
Syaikh Bin Baz :”Dan telah datang (riwayat) dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwasanya terkadang beliau mandi sebelum beliau
tidur. Maka keadaannya ada tiga :
- Seseorang tidur tanpa wudlu dan tanpa mandi, maka ini makruh dan menyelisihi sunnah
- Seseorang beristinja dan berwudlu sebagaimana wudlunya sholat (kemudian tidur), maka ini tidak mengapa
- Seseorang berwudlu dan mandi (kemudian tidur) maka ini adalah yang sempurna.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Sampai bertemu dalam pembahasan berikutnya إِنْ شَاءَ اللهُ