.showpageArea a { text-decoration:underline; } .showpageNum a { text-decoration:bold; border: 0px solid #cccccc; margin:0 3px; padding:10px; } .showpageNum a:hover { border: 0px solid #ffffff; background-color:#transparent; } .showpagePoint { color:#00ff0c; text-decoration:bold; border: 0px solid #cccccc; background: #transparent; margin:0 3px; padding:12px; } .showpageOf { text-decoration:bold; color:#ff7e00; padding:10px; margin: 0 3px 0 0; } .showpage a { text-decoration:bold; border: 0px solid #cccccc; padding:10px; } .showpage a:hover { text-decoration:bold; } .showpageNum a:link,.showpage a:link { text-decoration:bold; color:#ff7e00; }

Senin, 05 November 2012

MENGHAPUS DOSA KECIL DENGAN BER "ISTIGHFAR"


Salam sejahtera untuk semuanya, dalam kesempatan ini saya akan membahas mengenai DOSA-DOSA KECIL yang tidak pernah disadari oleh Orang Muslim dalam mejalankan aktivitas sehari-hari.

Sebagai seorang muslim sebaiknya kita harus selalu berhati-hati dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, kita sering berbuat atau melakukan hal-hal yang sering kita tidak sadari, kalau tindakan atau ucapan itu merupakan DOSA KECIL.

Sebagai seorang muslim jika kita menyadari akan tindakan atau perbuatan yang kita lakukan mengandung atau mengarah ke perbuatan DOSA terutama DOSA-DOSA KECIL maka ber "ISTIGHFAR" lah
dengan ber ISTIGHFAR Insyaallah akan menghapus DOSA-DOSA KECIL yang kita lakukan atau perbuat, Wallahu'alam bishowab.

Adapun DOSA _DOSA KECIL yang tidak pernah kita sadari adalah :

Berucap atau Berkata Bohong

Sering kita melakukan hal ini walaupun niatannya hanya bergurau atau bercanda padahal ini ini merupakan perbuatan dosa, misalnya kita datang terlambat datang kekantor dan kita ditanya kenapa kamu terlambat? jawabnya Macet, Sakit atau alasan yang lainnya sedangkan yangterjadi sebnearnya si karyawan terbut bangunnya kesiangan. Nah hal ini merupkan perbuatan dosa yang tidak pernah kita sadari, satu contoh lagi, misalnya kita lagi ngobrol sama teman sekerja yang akan resign atau keluar dari perkerjaan dari tempat karyawan tersebut bekerja, dan dia ditanyanya kamu mau pindah kemana dan dia menjawab yang tidak sebenarnya ini juag merupakan perbuatan dosa.

Menonton Televisi (TV)

Hukum menonton TV adalah mubah artinya mejadi pahala jika yang kita tonton adalah hal-hal yang bermanfaat misalnya ceramah atau ilmu yang bermanfaat. Namun menjadi haram bila yang ditonton adalah film-film yang mempertontonkan aurat,mistik,... termasuk iklan-iklan yang sering tanpa permisi lewat di depan mata mempertontonkan sesuatu yang haram. Untuk para akhwat tampaknya tak ada masalah,namun untuk para ikhwan,diperlukan benteng ekstra. TV kadang - kadang juga menyampaikan berita belum tentu benar, mak berhati-hatilah menyimpulkan akan kebenaran berita atau siaran dari televisi. Jangan dianggap remeh film-film yang berasal dari Barat, karena sesungguhnya mereka tengah mengubah kepribadian akhlak Islamiyah kaum muslimin dengan budaya mereka.

Mendengarkan Musik

hukum mendengarkan musik adalah mubah dan insyaallah akan menjadi pahala jika yang kita dengarkan adalah musik nasyid yang dapat meningkatkan iman, dan akan menjadi haram jika musik yang kita dengarkan bisa membangkitkan syahwat.

Pandanga Mata

Hal ini mungkin sepele hanya pandangan mata, tapi hal ini bisa menjadi dosa dan haram, seperti pepatah "dari mata turun kehati" hal ini bisa jadi benar adanya, Rosullah SAW bersabda "Pandangan mata adalah salah satu panah dari panah-panah iblis.Barangsiapa menjauhinya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepadanya perasaan manisnya iman."

Dan masih banyak contoh-contoh yang lain dari perbuatan DOSA-DOSA KECIL yang tidak pernah kita sadari, maka sebagai seorang muslim jika kita akan melakukan hal-hal yang akan membuat kita berbuat DOSA hendaklah menghindarinya, dan jika kita sudah terlanjur melakukannya hendaklah cepat-cepat ber "ISTIGHFAR" karena dengan ber ISTIGHFAR Insyallah akan diampuni oleh Allah SWT.
DAN INGAT LEBAIH BAIK MENCEGAH DARI PADA MENGOBATI.
Semoga bermanfaat amin amin amin yarobal alamin
Wallahu'alam bishowab

Selasa, 23 Oktober 2012

DALIL HADIS LARANGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN TTM, PACARAN DAN TUNANGAN II

LARANGAN BERSALAMAN, BERSENTUHAN BUKAN MUHRIM
Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya”. [Thabrani dalam Kitab Al-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan]
Dari ‘Aisyah ia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membai’at para perempuan dengan perkataan. Tidak pernah tangan Rasulullah SAW memegang tangan para perempuan, kecuali tangan perempuan yang telah menjadi miliknya (artinya perempuan yang telah dinikahinya = istri Nabi). [Bukhari]
zina itu secara hukum fiqh adalah hubungan suami istri oleh yg bukan suami dan istri.
sedangkan ajaran dlm islam adalah jauhilah zina. jadi jangankan melakukan, mendekatinya pun dilarang.
ada 6 jalan mendekati zina: mata, telinga, lidah, tangan, kaki dan hati.
semuanya perlu dijaga dari mendekati zina.
Abu Huraira menyampaikan bahwa Rasulullah (saw) mengatakan: Allah telah menetapkan bagian dari perzinahan yang seseorang akan terjerumus ke dalamnya. Tidak bisa lari dari itu.
Zina mata adalah pandangan yang penuh nafsu
dan Zina telinga adalah mendengarkan yg menggairahkan (lagu atau pembicaraan)
dan zina dari lidah adalah ucapan cabul
dan perzinahan tangan adalah cengkeraman bernafsu (memeluk)
dan Zina kaki adalah berjalan (ke tempat) di mana ia berniat melakukan perzinahan
dan hati merindukan dan menginginkan
sesuatu yang dia [kemaluannya] mungkin akan atau mungkin juga tidak melakukannya [yaitu berzina].
jadi bisa dimengertikan, kenapa orang tua melarang anaknya pacaran.. :-)
wallahu a’lam
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).
lihat jg An-Nur: 30–31
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. Sabdanya : “Nasib anak Adam mengenai zina telah ditetapkan. Tidak mustahil dia pernah melakukannya. Dua mata, zinanya memandang. Dua telinga, zinanya mendengar. Lidah, zinanya berkata. Tangan zinanya memegang. Kaki, zinanya melangkah. Hati, zinanya ingin dan rindu, sedangkan faraj (kemaluan) hanya mengikuti atau tidak mengikuti.” (Hadis Shahih Muslim No. 2282)
bnu Abbas r.a.. menyatakan, “Tidak ada yang kuperhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil daripada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat [dengan syahwat], zinanya lisan adalah mengucapkan [dengan syahwat], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [pemenuhan nafsu syahwat] …’.” (HR Bukhari & Muslim)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa “zina mata”, “zina lisan”, dan “zina hati” itu tergolong “mendekati zina”. Namun, disamping tiga macam “zina kecil” ini, masih ada banyak jenis aktivitas “mendekati zina” lainnya, seperti ‘zina tangan’, ‘zina kaki’, ‘zina bibir’, dan ‘zina-zina bagian tubuh lainnya’, kecuali alat kelamin. (Kalau bersetubuh menggunakan alat kelamin, maka ini bukan lagi “mendekati zina”, melainkan sudah benar-benar berzina.)
Memang, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas dalam hadits tersebut, dosa “mendekati zina” itu tergolong “dosa kecil”. Sungguhpun demikian, perbuatan dosa yang “kecil” ini cenderung diremehkan oleh pelakunya. Inilah yang dalam hadits di atas disebut sebagai “bagiannya dari zina yang pasti dia [manusia] lakukan”.
Padahal, bila diremehkan, yang kecil itu bisa membesar. Ingatlah bahwa perbuatan zina selalu diawali dengan “mendekati zina” terlebih dahulu! Dengan kata lain, dosa besar ini selalu diawali dengan dosa-dosa kecil. Dengan demikian, kalau dosa-dosa kecil itu diremehkan, maka dosa BESAR sudah menanti.
Lagipula, meski dosanya kecil, ancaman siksaannya kelak di alam kubur dan neraka tidaklah ringan. Semua siksaan ini berat.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya penghuni neraka yang siksaannya yang paling ringan itu ialah yang memakai dua sandal dengan kedua talinya (tali di atas sandal) yang terbuat dari api, maka mendidihlah otaknya sebagaimana mendidihnya kuwali (panci dari tanak). Orang ini mengira bahwa tidak ada orang yang mendapatkan azab lebih berat daripada dirinya, padahal ia mendapatkan azab yang paling ringan.” (HR Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir r.a.)


Al QuranWajibnya wudlu jika ingin menyentuh mushaf

Khilaf diantara para ulama,

·      Pendapat pertama (ini merupakan pendapat jumhur): Wajib berwudlu jika menyentuh mushaf, dalilnya :

- Sesuai firman Allah  لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْنَ (Tidak menyentuhnya kecuali yang disucikan), karena dhomir (هُ) kembali kepada Al-Qur’an sesuai dengan awal ayat tersebut تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (Yang diturunkan dari Robbul alamin). Sedangkan yang dimaksud الْمُطَّهَّرُوْنَ adalah orang yang berwudlu dan mandi dari janabah sesuai dengan firman Allah وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ  (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan walaupun ayat ini adalah khobar bukan perintah (sebab kalau perintah dia mestinya majzum لاَ يَمَسَّهُ karena لاَ adalah nahiyah), namun dia adalah khobar yang bermakna perintah. Dan yang seperti ini lebih mengena dalam amr.

- Sesuai dengan hadits :

أَبُو بَكْرٍ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرٍو بْنِ حَزْم عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ ٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا وَفِيْهِ "لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِر"ٌ

Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya :(Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan kepada penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan) “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” (Hadits shohih, irwaul golil no 122)

Syaikh Utsaimin pada mulanya condong kependapat Daud Adz-Dzohiri (akan disampaikan setelah ini), namun setelah beliau memperhatikan hadits لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena  bermakna suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah  وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ  (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabi mengungkapkan mukmin dengan tohir karena menggunakan mukmin lebih mengena daripada tohir. (Syarhul Mumti’ 1/265)

Dan ini adalah pendapat imam Ahmad, sebagaimana yang dikataka oleh Ishaq al-Mawarzi :

Aku bertanya (kepada Imam Ahmad) :”Apakah seorang laki-laki (boleh) membaca Al-Qur’an tanpa wudlu?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi janganlah dia membaca dengan (menyentuh) mushaf selama dia belum berwudlu.”

Ishaq berkata :”(Hukumnya) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad karena telah shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”, dan demikianlah praktek para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabiin”.

Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan yang shohih dari para sahabat yaitu yang diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos bahwasanya dia berkata : “Aku memegang mushaf dihadapan Sa’ad bin Abi Waqos, lalu aku menggaruk, maka berkata Sa’ad :”Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata :”Ya”, maka dia berkata :”Berdirilah dan berwudlulah”, maka akupun berdiri dan berwudlu kemudian aku kembali”. Diriwayatkan oleh Malik dan Baihaqi darinya dengan sanad yang shohih. (Irwaul golil 1/161)

Adapun kitab-kitab tafsir, maka boleh menyentuhnya tanpa wudlu sebab jumlah tafsirnya lebih banyak dibandingkan jumlah Al-Qur’annya. Dan demikan pula dengan kitab-kitab yang lain yang terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya namun jumlahnya sedikit. Dalilnya bahwasanya Nabi menulis kitab kepada orang-orang kafir dan dalam kitab tersebut ada ayat-ayat Al-Qur’an (Syarhul Mumti’ 1/267)

·      Pendapat kedua (ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : Tidak wajib berwudlu bila menyentuh mushaf, dalilnya :

- Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shohih dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dalam seluruh keadaan (suci maupun tidak)

كَانَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Adalah Nabi berdzikir kepada Allah dalam seriap keadaan. (Riwayat Bukhori dan Muslim)


- Yang asal adalah seseorang tidak dikenai kewajiban, maka tidak boleh kita menyatakan seseorang berdosa tanpa bersandar kepada nash.

- Adapun makna طَاهِرٌ yang ada dalam hadits (kalau haditsnya shohih) memiliki banyak kemungkinan, yaitu :

a. Bermakna orang mukmin, sebagaimana firman Allah ta’ala
إِنَّمَا الْمُشْرِكِيْنَ نَجْسٌ , dan hadits إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ jadi maksudnya suci secara maknawi (suci aqidah)

b. Bermakna suci dari najis haqiqi (‘aini/dzati) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kucing إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ

c. Bermakna suci dari janabah, sebagaimana firman Allah : إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا

d. Bermakna suci dari hadats kecil, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: دَعْهُمَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ (Nailul Author 1/206, Taudlihul ahkam 1/248)

Dan jika terdapat dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana pula jika terdapat empat kemungkinan.

- Adapun dhomir (هُ) yang terdapat ayat kembalinya pada فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ yang kemungkinan maksudnya adalah lauhul mahfuz atau kitab yang berada di tangan para malaikat bukan Al-Qur’an, karena dhomir kembali kepada yang paling terdekat (sehingga tidak kembali ke تَنْزِيْلٌ نِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ yang lebih jauh). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam ayat (عَبَسَ) ayat 11-16 yaitu فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ sama dengan فِي كِتَابٍ مَكْنُوْن dan بِأَيْدِي سَفَرَةٍ sama dengan لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْن , dan Al-Qur’an saling menafsirkan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.

- Dan dalam ayat الْمُطَّهَّرُوْنَ menggunakan wazan isim maf’ul bukan isim fa’il. Kalau maknanya orang yang bersuci mestinya menggunakan wazan isim fa’il. Sehingga maksudnya adalah para malaikat bukan manusia (Nailul Author 1/206)

- Adapun anggapan bahwa ayat adalah khobar bermakna perintah, ini memang bisa demikian namun harus ada korinah yang menunjukan akan hal itu. Jika tidak terdapat korinah maka kita kembali pada asal yaitu khobar tetap bermakna khobar.

- Adanya hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam نَهَى عَنِ السَّفَرِ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ (melarang bersafar dengan (membawa) Al-Qur’an ke negeri musuh, Muttafaqun alaih). Hal ini dikhawatirkan karena orang kafir yang najis hatinya akhirnya menyentuh Al-Qur’an tersebut. (Tamamul Minnah hal 107).

- Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos, kalaupun seandainya shohih maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqos kepada Mush’ab hanyalah karena mustahab.

-. Asalnya adalah boleh bagi seseorang memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an. Dan tidak boleh bagi seorangpun mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shohih dan shorih.

4. Perkara-perkara yang disunnahkan untuk berwudlu (lihat Thuhurul Muslim hal 91-96)
a.     Ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah ta’ala
Dalilnya : Hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khobarnya (pesannya) Abu Amir  bahwasanya beliau (Abu Amir) berkata kepada dia (Abu Musa) :

أَقْرِئِ النَّبِيَّ مِنِّي السَّلاَمَ وَ قُلْ لَهُ اِسْتَغْفِرْ لِي

Sampaikan pada Nabi salam dariku, dan katakanlah padanya “Mohon ampunlah (kepada Allah) untukku”.


Ketika dia (Abu Musa) mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air kemudian berwudlu dengan air tersebut kemudian mengangkat kedua tangannya lalu berkata ; “Ya Allah berilah ampunan bagi hambamu Abu Amir…(Riwayat Bukhori, lihat al-fath 8/41 dan Muslim 4/1944)
b.    Ketika akan tidur

Sesuai dengan hadits Baro’ bin Azib t, beliau berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ

Jika engkau mendatangi tempat berbaringmu maka berwudlulah seperti wudlumu ketika (akan) sholat kemudian berbaringlah di atas sisi (tubuh)mu yang kanan. (Riwayat Bukhori)
c.    Setiap kali berhadats

Sesuai dengan hadits Buraidah t, beliau berkata :

أَصْبَح رَسُوْلُ اللهَِ يَوْمًا، فَدَعَا بِلاَلاً فَقَالَ :" يَا بِلاَلُ بِمَا سَبَقَتْنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ إِنَّنِي دَخَلْتُ الْجَنَّةَ الْبَارِحَةَ فَسَمِعْتُ خَشْخَشْتَكَ أَمَامِي؟" فَقَالَ بِلاَلٌ : "مَا أَذَّنْتُ قَطٌّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْغَتَيْنِ، وَلاَ أَصَابَنِي حَدَثٌ قَطٌّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati pagi pada suatu hari, maka Beliau memanggil Bilal dan berkata :”Wahai Bilal dengan apa engkau mendahului aku ke surga?, sesungguhnya aku memasuki surga tadi malam maka aku mendengar suara langkah engkau di depanku”, maka Bilal menjawab :”Tidaklah sama sekali aku beradzan kecuali aku sholat dua rakaat dan tidak pernah sama sekali aku berhadats kecuali aku berwudlu” (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohih at-Targib no 95)

d.    Setiap akan sholat (walaupun belum batal wudlunya)

Sesuai dengan hadits Abu Huroiroh t, beliau berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ، وَمَعَ كُلِّ وُضُوءٍ بِسِوَاكٍ

Kalaulah tidak memberatkan umatku akan aku perintah mereka untuk berwudlu setiap sholat dan untuk bersiwak setiap berwudlu. (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih at-Targib no 95)
e.    Ketika mengangkat mayat

ٍSesuai dengan hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

مَنْ غَسَلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Barangsiapa yang memandikan mayat maka mandilah dan barangsiapa yang mengangat mayat maka berwudlulah. (Riwayat Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil no 144 sehingga ini merupakan pendapat syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, namun hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Bin Baz sehingga beliau menganggap tidak disunnahkannya berwudlu karena mengangkat mayat, adapun berwudlu karena memandikan mayat adalah sunnah sesuai dengan hadits Aisyah dan Asma’, akan datang penjelasannya pada bab mandi insya Allah U)
f.    Setelah muntah

Sesuai dengan hadits Ma’dan dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muntah lalu beliau berbuka kemudian berwudlu. (Riwayat Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil no 111)
g.    Karena memakan makanan yang tersentuh api (dibakar)

Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Berwudlulah karena memakan makanan yang tersentuh api. (Riwayat Muslim 1/272)


Kemudian telah tsabit dari hadits Ibnu Abbas dan Amr bin Umayyah  dan Abu Rofi’ tbahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makan daging yang tersentuh api kemudian beliau berdiri dan sholat dan tidak berwudlu. (Riwayat Bukhori no 5408 dan Muslim 1/273). Hal ini menunjukan bahwa disunnahkannya wudlu setelah memakan daging yang tersentuh api.
h.    Orang yang junub ketika akan makan

Sesuai dengan hadits Aisyah, beliau berkata :

كَانَ  رَسُوْلُ اللهِ إذَا كَانَ جُنُبًا فَأََرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلضَّلاَةِ

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau junub kemudian ingin makan atau tidur maka beliau berwudlu sebagaimana wudlu (untuk) sholat. (Riwayat Muslim 1/248 no 305)
i.    Karena ingin mengulangi jimak
Sesuai dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menjimaki) istrinya, kemudian dia ingin mengulanginya maka hendaklah dia berwudlu. (
Riwayat Muslim no 308. Berkata Syaikh Bin Baz dalam syarah bulugul maram :”Dzohirnya perintah untuk wajib”.)

Adapun mandi maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelilingi istri-istrinya dengan sekali mandi. (Riwayat Muslim no 309)
j. Ketika orang yang junub ingin tidur namun tidak mandi junub

Sesuai dengan hadits Aisyah ketika beliau ditanya : “Apakah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur dan dia dalam keadaan junub?”, maka Aisyah menjawab : “Benar, dan dia berwudlu” (Riwayat Bukhori no 286 dan Muslim no 305)

Dab juga hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu meminta fatwa (bertanya) kepada Nabi r, maka dia (Umar t) berkata :”Apakah salah seorang dari kami tidur dan dia dalam keadaan junub?”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

لِيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَنَمْ حَتَّى يَغْتَسِلَ إِذأ شَاءَ

“Hendaknya dia berwudlu kemudian hendaklah dia tidur hinga dia mandi jika dia kehendaki” (Riwayat Bukhori no 287 dan Muslim no 306)


Berkata Syaikh Bin Baz :”Dan telah datang (riwayat) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya terkadang beliau mandi sebelum beliau tidur. Maka keadaannya ada tiga :

-  Seseorang tidur tanpa wudlu dan tanpa mandi, maka ini makruh dan menyelisihi sunnah
-  Seseorang beristinja dan berwudlu sebagaimana wudlunya sholat (kemudian tidur), maka ini tidak mengapa
-  Seseorang berwudlu dan mandi (kemudian tidur) maka ini adalah yang sempurna.


وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Sampai bertemu dalam pembahasan berikutnya إِنْ شَاءَ اللهُ


Minggu, 29 Juli 2012

Kaya Hati, Itulah Kaya Senyata

Orang kaya pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih. Hatinya masih terasa hampa karena ada saja yang belum ia raih.
Coba kita perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Inilah nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah. Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dikencamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
Sedangkan orang yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi. Orang seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha kerus untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah orang yang tidak kaya pada hakikatnya.
Intinya, orang yang kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.”
Perkataan yang amat bagus diungkapkan oleh para ulama:
غِنَى النَّفْس مَا يَكْفِيك مِنْ سَدّ حَاجَة فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ ذَاكَ الْغِنَى فَقْرًا
“Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (miskinnya hati).”[1]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati.”[2]
Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina(Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.[3]
Saudaraku ... milikilah sifat qona’ah, kaya hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Semoga Allah menganugerahkan kita sekalian sifat yang mulia ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.